20130221

日本史をしりまほう!!Part2

6.   Pembaharuan Taika

Reformasi Taika (大化改新, Taika no Kaishin) atau Pembaruan Taika adalah perintah kekaisaran untuk pembaruan pemerintahan yang dikeluarkan Kaisar Kōtoku pada tahun 646 (zaman Asuka) di Jepang. Dalam Peristiwa Isshi, Pangeran Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari membunuh Soga no Iruka. Setelah tewasnya Soga no Emishi, maka berakhir pula keluarga utama klan Soga. Kendali pemerintahan tidak lagi dipegang klan Soga dan klan bangsawan di Asuka, melainkan terpusat di tangan kaisar. Semua tanah yang dulunya milik kalangan bangsawan disita untuk negara. Ibu kota dipindahkan dari Asuka ke Naniwanomiya. Reformasi ini dinamakan Reformasi Taika karena berlangsung pada zaman Taika. Nama zaman dimulai dari zaman Taika yang merupakan zaman pertama dalam penyebutan tahun di Jepang.

Latar belakang Reformasi Taika

Jepang dan tradisi budaya Cina mempunyai hubungan melalui penyerapan, kebudayaan yang berjalan secara perlahan namun lambat laun terus dilakukan oleh bangsa Jepang. Sedangkan jumlah penyerapan kebudayaan oleh bangsa Jepang sangat bervariasi tergantung kebutuhan negara tersebut.

                Pada masa pemerintahan T’ang banyak mahasiswa dari kawasan Asia dikirim ke Cina untuk mempelajari Cina yang sangat maju. Salah satu negara yang tertarik dengan kebudayaan Cina adalah Jepang. Hal yang dipelajari Jepang dari kebudayaan Cina adalah dalam bidang hukum, pemerintahan, penguasaan tanah, perpajakan dan lain-lain. Shotoku Taishi sebagai kaisar menginginkan adanya pemerintahan yang terpusat pada satu kaisat, sehingga dilaksanakan Reformasi Taika. Reformasi ini terjadi pada tahun 645 M. Dalam pelaksanaan Reformasi Taika dijalankan oleh Pangeran Nak no Oe yang dbantu oleh Nakatomi no Kamatari. Pangeran Nak no Oe dan Nakatomi no Kamatari berhasil meruntuhkan kekuasaan Soga dan sekaligus berakhirnya suatu era dimana negara seolah-olah dipegang oleh dua peguasa yang berdaulat.

Peristiwa Isshi


Klan Soga selama empat generasi, dimulai dari Soga no Iname, Soga no Umako, Soga no Emishi, dan Soga no Iruka memegang kekuasaan pemerintahan di Jepang. Kemarahan Nakatomi no Kamatari (nantinya disebut Fujiwara no Kamatari) memuncak akibat pemerintahan sewenang-wenang oleh klan Soga. Ia menginginkan pengembalian kekuasaan ke tangan kaisar. Namun niatnya batal setelah mendekati Pangeran Karu karena merasakan dia bukanlah tokoh yang tepat. Nakatomi no Kamatari kemudian mendekati Pangeran Naka no Ōe. Kisah pertemuan keduanya dalam pertandingan kemari telah menjadi kisah terkenal. Keduanya sama-sama belajar dari biksu Minabuchi no Shōan, dan akhirnya berdua menyusun rencana menggulingkan klan Soga. Pangeran Naka no Ōe menikahi putri dari Soga no Ishikawanomaro yang merupakan musuh Soga no Emishi dan Soga no Iruka. Sebagai hasilnya, Naka no Ōe dapat bersekutu dengan Soga no Ishikawanomaro, dan memperoleh dukungan dari Saeki no Komaro dan Katsuragi no Wakainukai no Amita.
Selanjutnya, pada tahun ke-4 berkuasanya Kaisar Kōgyoku (tahun 645) di istana bernama Itabukinomiya, Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari berhasil membunuh Soga no Iruka. Hari berikutnya, Soga no Emishi tewas bunuh diri setelah membakar sendiri rumah kediamannya, dan berakhirlah pemerintahan klan Soga.

Awal Pemerintahan Baru

Setelah terjadinya Peristiwa Isshi, Kaisar Kōgyoku turun tahta dan penerusnya adalah Putra Mahkota Naka no Ōe. Namun setelah Naka no Ōe berunding dengan Kamatari diputuskan agar Pangeran Karu yang naik tahta sebagai Kaisar Kōtoku, dibantu Pangeran Naka no Ōe menjadi putra mahkota. Peristiwa tersebut diperkirakan mengulangi keadaan yang terjadi ketika Kaisar Suiko bertahta sementara Pangeran Shōtoku sebagai putra mahkota memegang kendali pemerintahan. Kaisar Kōtoku dan Putra Mahkota Naka no Ōe didampingi Menteri Kiri Abe no Uchimaro, Menteri Kanan Soga no Kura no Yamada no Ishikawanomaro, dan Nakatomi no Kamatari sebagai Menteri Dalam (naijin). Mereka dibantu dua cendekiawan kekaisaran, Takamuko no Kuromaro dan biksu Min.

Garis Besar Reformasi Taika

Pada tahun 2 Taika, Kaisar Kōtoku mengeluarkan perintah kaisar tentang reformasi pemerintahan yang mengawali Reformasi Taika. Walaupun demikian, peristiwa terbunuhnya Soga no Iruka dan Soga no Emishi juga sering dianggap sebagai awal Reformasi Taika.
Ada empat pasal yang menjadi inti perintah kaisar:
  1. Tanah pribadi berikut penduduknya yang selama ini milik bangsawan disita, semua tanah dan penduduknya menjadi milik kaisar.
  2. Penataan pemerintah daerah, mulai dari ibu kota hingga provinsi (kuni) hingga distrik (agata) dan prefektur (kōri), serta pembuatan batas-batas wilayah.
  3. Pembuatan surat daftar keluarga (koseki) dan buku laporan kepala keluarga (keichō) untuk keperluan jatah tanah pertanian.
  4. Rakyat dikenakan pajak dan laki-laki dalam keluarga wajib menyumbang tenaga bagi pekerjaan negara.
Pelaksanaan Reformasi Taika
  1. Reformasi Hukum
Ide untuk mempunyai sistem hukum yang diundangkan dan lengkap di Jepang tersusun dari Ritsuryo dan Kyakushiki yang berasal dari klasifikasi hukum tertulis dinasti di Cina yaitu dinasti Sui dan dinasti T’ang. Ritsu dan ryo diterbitkan sebagai kitab undang-undang Ritsu sebagai hukum kejahatan sedangkan ryo untuk menegakan keadilan dan kebenaran. Keduanya bertujuan untuk mencapai cita-cita moral Konfuciusme. Pemindahan kedua kitab itu di perkenalkan di Jepang dengan memindahkan sistem Ritsu-nya T’ang secara lengkap. Satu-satunya perubahan adalah mengenai hukuman dengan satu atau dua tingkat. Ahli hukum kaisar mengurangi kekuatan Ryo dan diadakannya perbaikan agar sesuai dengan kebutuhan di Jepang, yang selanjutnya akan di ubah dengan suatu perubahan yang baru. Perubahan baru tersebut di namakan Kyaku. Sedangkan peraturan tambahan untuk peraturan undang-undang adalah disebut dengan Shiki. Sehingga sistem Kyaku Shiki adalah sebuah kitab perundang-undangan yang berasal dari sistem Ritsuryo. Sistem ini diterapkan di wilayah-wilayah provinsi.
            Pada tahun 689 undang-undang yang baru yang membahas tentang fungsi-fungsi kemetrian dan tugas para pejabat. Hal itu diedarkan melalui kantor pemerintahan. Dengan adanya undang-undang tersebut maka sebenarnya sistem pemerintahan pusat telah terlaksana. Tahun 702 undang-undang itu baru selesai di revisi. Sistem pemerintahan dibagi menjadi dua bagian yaitu Depertemen Peribadahan (Jingkan) dan Depertemen Kenegaraan (Daijokan).
B.     Reformasi Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahannya, Jepang terus mempelajari sistem pemerintahan Cina. Kemudian Jepang mempelajari sistem ryo yang menetapkan pemerintahan pusat dibagi menjadi dua yaitu Daijokan dan Jingikan ( bertanggung jawab atas upacara-upacara keagamaan Shinto) serta delapan kementerian yang bertanggung jawab terhadap berbagai bidang pemerintahan berada dibawah daijokan dan sebuah dinas kepolisisan atau pengadilan pejabat ( Danjodai).  Seperti halnya pada pemerintahan T’ang, maka di Jepang juga diadakan tiga kementrian untuk mengurusi birokrasi pemerintahan jepang ketiga biro itu adalah Chung-Shu Sheng bertugas menyusun surat keputusan resmi kaisar, Menshia Seng bertugas memeriksa surat keputusan dan mengajukannya kepada kaisar, sedangkan Shangshu Sheng bertugas sebagai pelaksana surat-surat keputusan itu. Sedangkan Daijokan mempunyai dua pejabat utama yaitu menteri kiri (Sadaijin) dan menteri kanan (Udaijin). Menteri kiri lebih tinggi kedudukannya daripada menteri kanan. Menteri Daijokan yang tertinggi yang tertinggi yang merupakan Daijodaijin yaitu seorang penasehat kaisar.
            Selanjutnya kantor yang mengawasi tingkah laku para pegawai disebut Danjidai. Tiap dinas pemerintahan dalam sistem ryo dikenal 4 tingkat pejabat yaitu kepala (Kami), wakil kepala (Suku) pegawai (Jo), dan sekretaris (Sekan). Para pegawai bersifat turun temurun. Sistem kapangkatan dicetuskan oleh Shotoku Taishi pada saat dia berkuasa 593-622 M dan diberlakuakan pada tahun 603 M. Setiap pangkat ditandai dengan pemberian topi dengan warna yang berbeda. Pangkat tersebut bertujuan untuk memeperjelas kedudukan dan hirarkis para pembesar istana. Para kepala suku diangkat sebagai gubernur yang disebut sebagai Kuni-no Mikiyatsoko.
  1. Penguasaan Tanah
Pada tahap awal perubahan, Reformasi Taika bertujuan pula untuk menghapus kepemilikan pribadi atas tanah dan pekerja dan untuk menarik pajak atas produk yang dihasilkan. Berkaitan dengan itu maka sistem penguasaan tanah di Jepang merupakan salah satu tujuannya. Penguasaan tanah dilakuakan dengan cara pengambilalihan semua tanah rakyat dan sepenuhnya di kuasai oleh Negara. Hal ini meniru pada undang-undang pemilikan tanah sama rata atau Chuntienfa kaisar T’ang. Namun perbedaannya terdapat pada pembagian tanah. Di Jepang baik pria maupun wanita sama-sama memiliki hak atas tanah dan pembagian tanah hanya bagi orang yang sudah berumur 6 tahun. Pembagian tanahnya pun terjadinya enam tahun sekali, tanah yang diberikan menjadi miliknya seumur hidup. Tanah yang diberiak kapada rakyat seluas 6/10 are (dua Tan) bagi pria dan wanita seluas 2/3 dari jatah pria.
            Pada tahun 780 menteri yang Yuen melaksanakan sistem pajak ganda Liang sui yang berarti pajak yang dipungut dua kali dalam satu tahun. Dan dihilangkannya system perbudakan.
  1. Sistem Perpajakan
Melalui pembaruan Taika sistem sewa tanah dan perpajakan dari Cina diadopsi dan diterapkan di Jepang. Menurut sistem ryo ditetapkan tiga macam pajak yaitu pajak So ialah pajak yang berasal dari hasil tanaman yang dipanen dari tanah yang telah ditetapkan sebagi wajib pajak (Yosunden). Pajak So berjumlah sekitar tiga persen dari hasil panen., sedangkan tanah yang tidak dipajak tapi di garap disebut Fuyusoden. Pajak yang lainnya adalah pajak Cho dan Yo yang sering dikenal sebagai pajak kerja Korve (kerja bakti). Pajak ini ditetapkan bagi orang yang sehat dan pada usia terbaik. Cho merupakan pajak yang dipungut dari produk daerahnya kecuali padi. Sedangkan pajak Yo, ini perupakan pajak atas kerja dengan cara kerja 10 hari dan pembayarannya diganti oleh produk karya.
Hasil pemungutan pajak digunakan untuk membiayai pemerintah pusat. Selain dari tiga pajak diatas, tapi ada juga pajak yang dipungut oleh para penarik pajak untuk kepentingannya sendiri. Pajak itu disebut sebagai Zoyo.
Ahkir Reformasi Taika
            Mundurnya Jepang dari Korea akibat meninggalnya Kaisar Putri Saimei dan pergantian kekuasaan pun terjadi. Kaisar Putri digantikan oleh Naka no Oe yang dikenal dengan Kaisar Tenji. Dalam pemerintahannya dia memberi hak kepada para bangsawan untuk mempunyai sebuah pasukan, maka secara tidak langsung Tenji telah mengembalikan kekuasaan pada tangan-tangan feodal. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita Shotoku Taishi.  Peraturan bahwa semua tanah milik Negara akan dibagikan kepada para petani secara merta ternyata setelah reformasi tidak banyak dilakukan, banyak tanah milik perseorangan yang bebas dari pajak (Sho atau Shoen), banyak hak istimewa yang diberikan kepada kaum bangsawan, perpindahan ibu kota dari Nara ke Heian (Kyoto) membuat terputusnya hubungan Jepang dengan Cina, Jepang berusaha untuk membentuk kebudayaan baru. Pada abad ke-9 M kebudayaan Cina sudah mulai berkuarang. Namun yang masih pada saat itu adalah kesenian, huruf kanji, dan kesusastraan.

7. Ibu kota Heijō
Heijō-kyō atau Heizei-kyō  (平城京)  adalah ibu kota Jepang pada zaman Nara. Nara no miyako (奈良, ibu kota Nara) adalah sebutan lain untuk kota ini yang menjadi ibu kota Jepang dari tahun 710 hingga 740, dan tahun 745 hingga 784. Pembangunan kota mengambil model dari ibu kota Dinasti Tang di Chang'an dan ibu kota Dinasti Wei Utara di Luoyang. Lokasi Heijō-kyō berada di dalam wilayah kota Nara dan Yamatokōriyama di Prefektur Nara sekarang.

Sejarah
Walaupun perintah kaisar dikeluarkan Kaisar Genmei pada tahun 708, pekerjaan pemindahan ibu kota dari Fujiwara-kyō ke Heijō-kyō sudah dimulai sejak tahun 707. Tahun 710, ketika ibu kota sudah dipindahkan ke Heijō-kyo, hanya kompleks istana kaisar (dairi), aula utama istana (daigokuden), dan kediaman resmi pegawai pemerintah yang diperkirakan sudah hampir selesai dibangun. Pembangunan kuil dan kediaman bangsawan diperkirakan dilakukan secara bertahap sebelum akhirnya ibu kota dipindahkan ke Nagaoka-kyō di Provinsi Yamashiro pada tahun 784. Ketika pada tahun 740, ibu kota pindah untuk sementara keKuni-kyō, Heijō-kyō menjadi telantar. Namun Heijō-kyō kembali menjadi ibu kota dari tahun 745 hingga ibu kota dipindahkan ke Nagaoka-kyō pada tahun 784. Setelah ibu kota berada di Nagaoka-kyō, Heijō-kyō disebut orang sebagai Nanto (南都, ibu kota Selatan).
Ketika ibu kota berada di Nagaoka-kyō, mantan Kaisar Heizei pada tahun 810 mengeluarkan perintah tentang pengembalian ibu kota dari Heian-kyō ke Heijō-kyō. Mantan Kaisar Heizei berusaha mengembalikan ibu kota ke Heijō-kyō namun berakhir dengan kegagalan. Kaisar Saga menggelar pasukan untuk menghalangi usaha mantan Kaisar Heizei. Selanjutnya, mantan Kaisar Heizei dijadikan biksu dalam peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Kusuko.


Citra udara situs Istana Heijō
Wilayah kota berbentuk persegi panjang yang membujur dari utara ke selatan. Jalan utama yang disebut Jalan Raya Suzaku (Suzaku ōji) membagi kota menjadi dua bagian, distrik Sakyō (kota bagian timur) dan distrik Ukyō (kota bagian barat). Di timur laut distrik Sakyō terdapat wilayah berlereng yang disebut distrik Gekyō (sekarang menjadi pusat kota Nara). Kota ditata menurut sistem tradisional jalan dan blok (jōbō-sei) yang berasal dari Dinasti Tang. Distrik Sakyō dan Ukyō masing-masing dibagi menjadi 9 () (baris) dan 4  () (kolom). Lebar kota dari utara ke selatan adalah 4,7 km (tidak termasuk kawasan paling utara), sedangkan panjang kota dari timur ke barat adalah 6,3 km. Jalan-jalan raya (oji) dibangun melintang dari timur ke barat, mulai dari Ichi-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-1) di bagian paling utara kota hingga Ku-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-9) di kota bagian selatan. Di masing-masing distrik (Sakyō dan Ukyō), jalan raya yang terdekat dengan Jalan Raya Suzaku dinamakan Ichi-bō ōji (Jalan Raya Bō ke-1), diikuti Ni-bō ōji (Jalan Raya Bō ke-2), dan seterusnya. Jalan-jalan raya tersebut membagi kota menjadi zona-zona yang disebut  () (luas 1  adalah 28,3 hektare atau 532 x 532 m) yang dikelilingi oleh tembok dan parit. Masing-masing  terbagi menjadi 16 blok yang disebut machi () oleh 3 ruas jalan dari timur ke barat, dan 3 ruas jalan dari utara ke selatan. Luas 1 blok (machi) sekitar 1,768 hektare.
Bangunan istana dan kuil
Istana kaisar yang disebut Istana Heijō berada di ujung utara Jalan Raya Suzaku. Pintu masuk ke kompleks Istana Heijō disebut Gerbang Suzaku (Suzakumon). Lokasi Istana Heijō tidak dipindah-pindah lagi sejak awal pembangunan kota. Aula utama istana yang disebut Daigokuden dihancurkan ketika ibu kota pindah ke Kuni-kyō. Setelah ibu kota pindah lagi ke Heijō-kyō, Daigokuden kembali dibangun, namun lokasinya dipindah agak ke sisi timur lokasi yang lama. Di ujung selatan Jalan Raya Suzaku terdapat bangunan gerbang bernama Rashōmon, sedangkan tembok batas kota berada di sisi selatan Ku-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-9).
Selain sebagai ibu kota, Heijō-kyō berkembang sebagai pusat agama Buddha. Di dalam kota terdapat sejumlah besar kuil, termasuk di antaranya 4 kuil utama: Daian-jiYakushi-jiKōfuku-ji, dan Gangō-ji. Keempat kuil tersebut secara berturut-turut ikut dipindahkan dari Fujiwara-kyō mengikuti kepindahan ibu kota ke Heijō-kyō. Tōdai-ji yang berada di ujung paling timur ibu kota (distrik Gekyō) dibangun Kaisar Shōmu pada tahun 752. Selanjutnya, Saidai-ji dibangun Kaisar Kōken di bagian paling utara distrik Ukyō pada tahun 765. Ditambah dengan keberadaan Hōryū-ji, sebutan untuk 7 kuil utama agama Buddha di Nara adalah Nanto Shichi Daiji (7 kuil utama Nanto).











Taken from: 
Makalah
日本史



Disusun oleh:
Dede Setiawan (1000999)
Dita Sartika (1000302)
Frina Utami (1000061)
Mustofa (1000998)
Siti Aisah (1001009)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA JEPANG
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011

日本史を知りましょう!! Part 1

1.       Gundukan kerang
Pada mulanya Kepulauan Jepang menyatu dengan daratan Asia, namun kemudian sejak kira-kira 10.000 tahun yang laulu bentuknya berubah menjadi seperti sekarang. Orang-orang yang tinggal di sini pada saat itu adalah nenek moyang orang Jepang, namun dari mana datangnya orang itu, belum diketahui. Orang-orang pada masa ini tinggal berkelompok di rumah-rumah yang terletak di tanah agak tinggi, dan menjalani kehidupan dengan berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan tanaman. Rumah dibuat dengan cara mendirikan tiang di lubang dangkal yang mereka gali, dengan rumput sebagai atapnya (Teteanashikijukyo). Mereka membuang kulit kerang setelah makan ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Gundukan kerang itu sampai sekarang pun masih tersisa dimana-mana. Karena kemudian ditemukan perkakas batu dan tembikar bermotif tambang dari gundukan kerang tersebut, maka situasi kehidupan pada masa itupun dapat diketahui.
Manusia pada masa itu percaya akan adanya roh dalam batu, pohon, binatang, dan semua benda-benda yang ada di alam (animisme). Karena takut akan roh-roh tersebut, maka mereka pun mengucapkan mantera-mantera untuk menenangkan roh-roh itu dan memohon untuk kehidupan yang aman. Jaman ini berlangsung selama kira-kira 8.000 tahun sejak 10.000 tahun yang lalu. Jaman ini disebut Jaman Jyomon Shikidoki (tembikar gaya Jyomon).

2.   Mulainya Pertanian
Memasuki abad ke-3 sebelum Masehi, dimulailah pertanian yang memakai perkakas logam, yaitu; besi dan perunggu. Teknik perkakas-perkakas ini dibawa dari daratan Cina. Situasi pertanian pada masa itu diketahui dari gambar yang terdapat di lonceng perunggu. Lonceng perunggu ini adalah peninggalan yang banyak di temukan dari jaman ini dan diperkirakan sebagai barang yang dipakai pada saat upacara-upacara.
Untuk bertani, orang-orang mulai tinggal di daratan rendah dan membentuk desa. Peninggalan Toro (Shizuoka) yang memberitahukan pada jaman itu, menunjukan adanya peninggalan tempat tinggal dan sawah, selain itu peninggalan lumbung panggung yang tidak dapat dimasuki tikus serta perkakas tani dari kayu pun masih tertinggal. Perkakas pada masa itu bentuknya telah berubah menjadi lebih kuat dan lebih baik dari jaman sebelumnya. Perkakas-perkakas tersebut pertama kali ditemukan di Yayoi-cho, Bunkyo-ku (Kota Tokyo). Disebut perkakas gaya Yayoi, karena itu pula maka jaman sejak abad ke-3 sebelum masehi sampai kira-kira 600 tahun sesudahya disebut jaman Yayoi.

3.     Himiko
Memasuki abad 1-3 Masehi, pertanian bertambah maju, desa pun bertambah besar, sehingga dapat disebut sebagai kerajaan kecil. Kemudian, pemimpin yang berkuasa menjadi raja dikerajaan tersebut, raja yang kuat menguasai raja yang lemah,lalu membuat kerajaan yang lebih besar. Menurut buku sejarah kuno Cina abad ke -1 yang disebut Gokanjou (kitab sejarah dinasti Han) diketahui bahwa telah datang utusan dari negara Wajin (orang Wa/orang jepang) dan Kaisar dari Dinasti Han telah memberikan stempel emas kepadanya. Kira-kira pada 200 tahun yang lalu di propinsi Fukuoka, ada seorang petani yang secara kebetulan menemukan stempel dari emas dari dalam tanah. Di stempel tersebut terukir kata Kannowanonanokokuo, yang artinya kurang lebih raja dari negeri Wa yang berasal dari dinasti Han. Kerajaan ini adalah kerajaan kecil yamg diperkirakaan berada didekat Hakata (kota fukuoka).
            Situasi setelah itu ada ditemukanya buku sejarah kuno Cina yang disebut Gishi (catatan dari kerajaan Wei) yang didalamya tertulis tentang hikayat orang Wa (Wajinden) secara terperinci. Menurut buku tersebut negeri wajin terbagi menjadi kira-kira 30 kerajaan-kerajaan kecil. Diantaranya yang terkuat adalah kerajaan Yamatai dengan Himiko sebagai ratunya.

Penyatuan oleh Ratu Himiko
Sampai abad kedua atau ketiga sebelum masehi orang zaman Neolitikum di Jepang menggunakan alat-alat dari batu dan tembikar jenis Jomon. Kemudian datang jaman perunggu dari Asia pada jaman ini ditemukan juga tembikar jenis Yayoi di Kyushu. Yayoi berkembang dibawah pengaruh Korea dan lambat laun tersebar ke Timur sehingga pada akhirya tembikar menggantikan barang pecah-belah Jomon sebagai perabot rumah tangga sehari-hari. Orang-orang yang tinggal didaerah yang tinggi dan kering turun ke daerah rendah dan basah untuk mengolah tanah endapan untuk menyesuaikan diri, mereka mempunyai kelompok–kelompok pertalian darah yang disebut Uji. Pemerintahan sebuah Uji atau suatu Federasi atau gabungan kecil beberapa uji disebut Kuni atau negeri bagian.
Masuknya kebudayaan perunggu menimbulkan konformasi yang nyata antara lingkungan pengaruh budaya-agama yang berbeda. Berpusat di Kyushu bagian utara dicirikan pemakaian pedang atau Halberd (yaitu senjata yang digunakan pada jaman perang), di daerah Kinai (Nara-Kyoto) menggunakan Dotako (benda perunggu berbentuk bel/lonceng). Menurut Wei-chih Wojen-ch’uan ada yang disebut negara Wa yang ibu kotanya di Yamatai. Untuk mencapai negara itu dari Kyusu orang harus menempuh lima ribu li jalur pelayaran jalan satu-satunya melalui lalu lintas laut pedalaman (Seto Naikai). Dengan kesimpulan daerah tersebut kini disebut wilayah Nara.
Dalam bahasa Jepang kuno kaisar disebut suberagi atau suberogi, artinya “raja yang menyatukan” (Suburu kimi). Suatu negara yang dipersatukan seperti itu disebut (Togo kokka), karena Yamatai terdiri dari beberapa kelompok uji (ujizoku) patutlah disebut sebuah “bangsa yang terdiri dari kelompok-kelompok uji yang dipersatukan” (ujizoku teki togo kokka). Secara teotistis masyarakat kuno berada di bawah kekuasaan dewa-dewa. Karena kehendak dewa-dewa itu mutlak, maka orang yang dipakai untuk meneruskan kehendak dewa tersebut yaitu untuk menguasai para anggota uji dan budak-budak, hanya pemimpin Uji yang mempunyai hak untuk memuji (matsuru) dan menyampaikan (noru) kehendak dewa. Dewa pengawal pelindung uji disebut ujigami. Di dalam Wei-chih Wojen-ch’uan bahwa “Himiko benar-benar mengetahui dunia halus dan dapat mempesonakan orang-orang”. Pemerintahan wanita bukanlah suatu hal yang tidak biasa pada zaman kuno, kenyataan bahwa “Ameterasu-omikami”, nenek moyang keluarga kerajaan adalah sesungguhnya seorang dewi. Matsuri (pemujaan) sebenarnya “melayani dewi-dewi dan mengetahui kehendak mereka.
Terdapat dua istilah yang dapat menunjukkan “menguasai” pada zaman Kuno, yaitu, Shiru yang dimaksudkan untuk menyatakan pengawasan yang diselenggarakan oleh anggota uji kepada kekuasaan agama mereka, yang kedua adalah suburu yaitu suatu cara uji untuk menguasai uji yang lain. Dalam pemerintahan Himiko, kekuasaan untuk memerintah dipegang oleh saudara laki-lakinya. Situasi Himiko ini sebenarnya tidaklah unik, bahkan mencerminkan kebiasaan umum pada kalangan pemimpin uji, kebiasaan ini merupakan suatu tradisi bahwa kaisar Jepang tidak langsung melaksanakan tugas kepemerintahan.
Penyatuan oleh Kaisar Sujin
Himiko wafat pada pertengahan abad ketiga, kemudian digantikan oleh seorang wanita suku Chan bernama Toyo. Yamatai mencapai kedudukan yang unggul di antara negeri yang lain. Setelah runtuhnya dinasti Han ketiga negara yaitu Wei, Wu, Shu saling bersengketa untuk menguasai kawasan-kawasan. Akhirnya pengaruh Yamatai berkurang dibawah Toyo. Tak lama kemudian Yamatai diserang dari kekuasaan dari Utara Kyusu dalam buku sejarah Jepang yaitu Nihonshoki dan Kojiki disusun dalam abad kedelapan, penguasa ini dikenal sebagai Sujin Kaisar Jepang yang kesepuluh. Menurut Nihon Shoki dan kojiki kaisar pertama bernama Jinmu; Ia lah yang mengirim suatu ekpedisi dari kyushu ketimur dan naik tahta pada tahun 660 SM. Tidaklah diragukan bahwa memang terjadi ekspedisi itu dipimpin oleh Sujin bukan Jinmu. Sebenarnya Sijun itu adalah kaisar pertama.
“Toyosuki-iri-hime-no-mikoto”,yang dikatakan sebagai anak perempuan Sujin sebenarnmya adalah Toyo yang kalah. “Yamato-totohi-momoso-hime-no-mikoto”, yang dikatakan sebagai bibi kaisar adalah sangat mungkin Himiko yang telah wafat.. Bagaimanapun juga Sujin menyimpan cermin suci milik keluarga kerajaan yang merupakan salah satu dari tiga harta pusaka kerajaan. Orang beranggapan pendekatan Sujin kekerajaan ditiru oleh tiap kaisar baru. Anak kaisar yang kesebelas (Kaisar Suinin) yaitu “Yamato-hime-no-mikoto”, membawa cermin kudus melalui”Omi”dan “Mino” ketepi sungai Isuzu di Ise. dan disitulah cermin itu disimpan selama-lamanya.
Peninggalan Istana Ratu Himiko Ditemukan di Prefektur Nara
Dewan Pendidikan Prefektur Nara Selasa mengumumkan, sejumlah ahli arkeologi telah menjelaskan bahwa Himiko atau Pimiko adalah seorang penyihir berkekuatan hebat pada masa kuno Yamataikoku Wa (Jepang). Awal dinasti cina anak sungai kronik sejarah hubungan antara Ratu Himiko dan Kerajaan Cao Wei (220-265), dan mencatat bahwa periode Yayoi orang memilih dia sebagai penguasa dekade berikutnya peperangan di antara raja-raja Wa. Awal sejarah Jepang tidak menyebutkan Himiko, tapi sejarawan mengasosiasikan dirinya dengan tokoh-tokoh legendaris seperti Ratu Permaisuri Jingū, yang adalah Bupati (ca. 200-269) di zaman kira-kira sama seperti Himiko. Ilmiah perdebatan mengenai identitas dan lokasi Himiko-nya domain Yamatai telah berlangsung sejak akhir zaman Edo, dengan pendapat dibagi antara Kyushu utara atau provinsi Yamato tradisional saat ini Kinki. "The Yamatai kontroversi", menulis Keiji Imamura (1996:188), adalah "perdebatan terbesar sejarah kuno Jepang." menemukan peninggalan bangunan yang diduga merupakan istana yang dahulunya dihuni oleh Ratu Himiko.
Bangunan berukuran 238 meter persegi itu ditemukan diantara reruntuhan Makimuku di kota Sakurai, Nara. Menurut buku-buku sejarah Cina, Ratu Himiko memimpin Jepang selama masa Kerajaan Yamatai pada awal abad ke-2, dan meninggal pada tahun 248 setelah Masehi.

4.     Kofun
Zaman Kofun (古墳時代, kofun jidai) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang dimulai pada pertengahan-akhir abad ke-3 sampai sekitar abad ke-7. Pada buku sejarah tempo dulu, zaman Kofun dan zaman Asuka pernah disatukan menjadi zaman Yamato, tapi dalam buku sejarah modern kedua zaman ini dianggap sebagai dua zaman yang terpisah. Kofun adalah makam kaisar atau bangsawan dengan tanah yang dibuat membukit yang menempati lokasi yang berbentuk perpaduan lingkaran dan persegi empat seperti lubang kunci. Ciri khas zaman Kofun adalah pembangunan Kofun secara terus menerus selama 300 tahun di banyak tempat di Jepang.
Pada zaman Kofun terjadi berkali-kali perang perebutan kekuasaan yang sengit, berbagai macam cara kotor, tipu muslihat dan strategi digunakan untuk dapat berkuasa. Calon penguasa yang merasa lebih kuat tanpa ragu-ragu menyingkirkan semua penghalang termasuk membunuh saudara tiri atau saudara kandung. Pada zaman Kofun teknik irigasi untuk pengairan sawah berkembang dengan pesat.

5.     Horyuji
Kuil Horyuji adalah sebuah kuil tertua di jepang yang di bangun pada tahun 607. Horyuji dibangun oleh pangeran shotoku untuk mendoakan ayahnya yang sedang sakit. Horyu-ji (kuil pengembangan hukum) adalah sebuah kuil Buddha di Ikaruga, Prefektur Nara, Jepang. Nama lengkap adalah Horyu Gakumonji, statusnya merangkap sebagai seminari dan biara. Kuil ini awalnya dibangun oleh Pangeran Shōtoku, pada saat itu disebut Ikaruga-dera, nama yang masih kadang-kadang digunakan. Horyu-ji  di dedikasikan untuk Yakushi Nyorai, Sang Buddha penyembuhan dan untuk menghormati ayah sang pangeran.

Pembagian Wilayah
Candi ini terdiri dari dua wilayah, Sai-in di barat dan To-in di timur. Bagian barat candi berisi Kondō (Golden Hall) dan lima pagoda candi. Untuk di daerah To-in terdapat Yumedono Hall oktagonal (Hall of Dreams) dan duduk 122 meter sebelah timur Sai-in. Kompleks ini juga mengandung perempat biksu, ruang kuliah, perpustakaan, dan ruang makan.

Pagoda
Pagoda lima lantai, yang terletak di daerah Sai-in, berdiri di 32,45 meter (122 kaki) dan sekitar 20 x 20 lebar dan merupakan salah satu bangunan kayu tertua di dunia. Di dasar pilar, diabadikan fragmen tulang Buddha . Walaupun pagoda  bertingkat lima, tidak berfungsi seperti dulu, tetapi memungkinkan orang untuk naik di dalamnya dan  menginspirasi orang dengan pandangan eksternal.

Kondo
Kondō, terletak bersebelahan dengan Pagoda lima lantai di Sai-in, dan merupakan salah satu bangunan kayu tertua yang masih ada di dunia. Aulanya 18,5 x 15,2 meter. Ruanganya memiliki dua lantai, dengan atap melengkung di sudut-sudut tetapi hanya cerita pertama memiliki atap ganda (mokoshi)..

Yumendo
Yumedono adalah salah satu konstruksi utama dalam To-in, dibangun di atas tanah yang dulunya istana pribadi Pangeran Shōtoku's, Ikaruga Miya no. Gedung ini dibangun pada tahun 739 untuk meredakan semangat Pangeran. Aula sudah dikenal saat itu pada periode Heian, setelah sebuah legenda yang mengatakan bahwa seorang Buddha tiba sebagai Pangeran Shōtoku dan bersemedi di sebuah aula yang ada di sini.












Taken from: 
Makalah
日本史



Disusun oleh:
Dede Setiawan (1000999)
Dita Sartika (1000302)
Frina Utami (1000061)
Mustofa (1000998)
Siti Aisah (1001009)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA JEPANG
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011