6. Pembaharuan Taika
Reformasi Taika (大化の改新 Taika no Kaishin) atau Pembaruan
Taika adalah perintah kekaisaran untuk pembaruan pemerintahan yang dikeluarkan Kaisar Kōtoku pada
tahun 646 (zaman Asuka) di Jepang. Dalam Peristiwa Isshi, Pangeran Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari
membunuh Soga no Iruka. Setelah
tewasnya Soga no Emishi, maka berakhir
pula keluarga utama klan Soga. Kendali pemerintahan
tidak lagi dipegang klan Soga dan klan bangsawan di Asuka, melainkan terpusat
di tangan kaisar. Semua tanah yang dulunya milik kalangan bangsawan disita
untuk negara. Ibu kota dipindahkan dari Asuka ke Naniwanomiya. Reformasi ini dinamakan Reformasi Taika
karena berlangsung pada zaman Taika.
Nama zaman dimulai dari zaman Taika yang
merupakan zaman pertama dalam penyebutan tahun di Jepang.
Latar belakang Reformasi Taika
Jepang dan tradisi budaya Cina mempunyai hubungan melalui penyerapan, kebudayaan yang berjalan secara perlahan namun lambat laun terus dilakukan oleh bangsa Jepang. Sedangkan jumlah penyerapan kebudayaan oleh bangsa Jepang sangat bervariasi tergantung kebutuhan negara tersebut.
Pada masa pemerintahan T’ang banyak
mahasiswa dari kawasan Asia dikirim ke Cina untuk mempelajari Cina yang sangat
maju. Salah satu negara yang tertarik dengan kebudayaan Cina adalah Jepang. Hal
yang dipelajari Jepang dari kebudayaan Cina adalah dalam bidang hukum,
pemerintahan, penguasaan tanah, perpajakan dan lain-lain. Shotoku Taishi
sebagai kaisar menginginkan adanya pemerintahan yang terpusat pada satu kaisat,
sehingga dilaksanakan Reformasi Taika. Reformasi ini terjadi pada tahun 645 M.
Dalam pelaksanaan Reformasi Taika dijalankan oleh Pangeran Nak no Oe yang
dbantu oleh Nakatomi no Kamatari. Pangeran Nak no Oe dan Nakatomi no Kamatari
berhasil meruntuhkan kekuasaan Soga dan sekaligus berakhirnya suatu era dimana
negara seolah-olah dipegang oleh dua peguasa yang berdaulat.
Peristiwa Isshi
Klan Soga selama empat generasi, dimulai dari Soga no Iname, Soga no Umako, Soga no Emishi, dan Soga no Iruka memegang
kekuasaan pemerintahan di Jepang. Kemarahan Nakatomi no Kamatari
(nantinya disebut Fujiwara no Kamatari) memuncak akibat pemerintahan
sewenang-wenang oleh klan Soga. Ia menginginkan pengembalian kekuasaan ke
tangan kaisar. Namun niatnya batal setelah mendekati Pangeran Karu karena
merasakan dia bukanlah tokoh yang tepat. Nakatomi
no Kamatari kemudian mendekati Pangeran Naka no Ōe. Kisah
pertemuan keduanya dalam pertandingan kemari telah menjadi kisah terkenal.
Keduanya sama-sama belajar dari biksu Minabuchi no Shōan, dan
akhirnya berdua menyusun rencana menggulingkan klan Soga. Pangeran Naka no Ōe
menikahi putri dari Soga
no Ishikawanomaro yang merupakan musuh Soga no Emishi dan Soga no Iruka.
Sebagai hasilnya, Naka no Ōe dapat bersekutu dengan Soga no Ishikawanomaro, dan
memperoleh dukungan dari Saeki no Komaro dan Katsuragi no
Wakainukai no Amita.
Selanjutnya, pada tahun ke-4 berkuasanya Kaisar Kōgyoku (tahun 645) di istana bernama
Itabukinomiya, Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari berhasil membunuh Soga no
Iruka. Hari berikutnya, Soga no Emishi tewas bunuh diri setelah membakar
sendiri rumah kediamannya, dan berakhirlah pemerintahan klan Soga.
Awal Pemerintahan Baru
Setelah
terjadinya Peristiwa Isshi, Kaisar Kōgyoku turun tahta dan penerusnya adalah
Putra Mahkota Naka no Ōe. Namun setelah Naka no Ōe berunding dengan Kamatari
diputuskan agar Pangeran Karu yang naik tahta sebagai Kaisar Kōtoku, dibantu
Pangeran Naka no Ōe menjadi putra mahkota. Peristiwa tersebut diperkirakan
mengulangi keadaan yang terjadi ketika Kaisar Suiko bertahta
sementara Pangeran
Shōtoku sebagai putra mahkota memegang kendali pemerintahan. Kaisar Kōtoku
dan Putra Mahkota Naka no Ōe didampingi Menteri Kiri Abe no Uchimaro, Menteri
Kanan Soga
no Kura no Yamada no Ishikawanomaro, dan Nakatomi no Kamatari sebagai
Menteri Dalam (naijin). Mereka dibantu dua cendekiawan kekaisaran, Takamuko no Kuromaro
dan biksu Min.
Garis Besar Reformasi Taika
Pada
tahun 2 Taika, Kaisar Kōtoku
mengeluarkan perintah kaisar tentang reformasi pemerintahan yang mengawali
Reformasi Taika. Walaupun demikian, peristiwa terbunuhnya Soga no Iruka dan Soga no Emishi juga sering
dianggap sebagai awal Reformasi Taika.
Ada
empat pasal yang menjadi inti perintah kaisar:
- Tanah pribadi berikut penduduknya yang selama ini milik bangsawan disita, semua tanah dan penduduknya menjadi milik kaisar.
- Penataan pemerintah daerah, mulai dari ibu kota hingga provinsi (kuni) hingga distrik (agata) dan prefektur (kōri), serta pembuatan batas-batas wilayah.
- Pembuatan surat daftar keluarga (koseki) dan buku laporan kepala keluarga (keichō) untuk keperluan jatah tanah pertanian.
- Rakyat dikenakan pajak dan laki-laki dalam keluarga wajib menyumbang tenaga bagi pekerjaan negara.
Pelaksanaan Reformasi
Taika
- Reformasi Hukum
Ide
untuk mempunyai sistem hukum yang diundangkan dan lengkap
di Jepang tersusun dari Ritsuryo dan Kyakushiki yang berasal dari klasifikasi
hukum tertulis dinasti di Cina yaitu dinasti Sui dan dinasti T’ang. Ritsu dan
ryo diterbitkan sebagai kitab undang-undang Ritsu sebagai hukum kejahatan
sedangkan ryo untuk menegakan keadilan dan kebenaran. Keduanya bertujuan untuk
mencapai cita-cita moral Konfuciusme. Pemindahan kedua kitab itu di perkenalkan di Jepang dengan memindahkan
sistem Ritsu-nya T’ang secara lengkap. Satu-satunya perubahan adalah mengenai
hukuman dengan satu atau dua tingkat. Ahli hukum kaisar mengurangi kekuatan Ryo
dan diadakannya perbaikan agar sesuai dengan kebutuhan di Jepang, yang
selanjutnya akan di ubah dengan suatu perubahan yang baru. Perubahan baru
tersebut di namakan Kyaku. Sedangkan peraturan tambahan untuk peraturan
undang-undang adalah disebut dengan Shiki. Sehingga sistem Kyaku Shiki adalah
sebuah kitab perundang-undangan yang berasal dari sistem Ritsuryo. Sistem ini
diterapkan di wilayah-wilayah provinsi.
Pada
tahun 689 undang-undang yang baru yang membahas tentang fungsi-fungsi kemetrian
dan tugas para pejabat. Hal itu diedarkan melalui kantor pemerintahan. Dengan
adanya undang-undang tersebut maka sebenarnya sistem pemerintahan pusat telah
terlaksana. Tahun 702 undang-undang itu baru selesai di revisi. Sistem
pemerintahan dibagi menjadi dua bagian yaitu Depertemen Peribadahan (Jingkan)
dan Depertemen Kenegaraan (Daijokan).
B. Reformasi
Pemerintahan
Dalam sistem
pemerintahannya, Jepang terus mempelajari sistem pemerintahan Cina. Kemudian
Jepang mempelajari sistem ryo yang menetapkan pemerintahan pusat dibagi menjadi
dua yaitu Daijokan dan Jingikan ( bertanggung jawab atas upacara-upacara
keagamaan Shinto) serta delapan kementerian yang bertanggung jawab terhadap
berbagai bidang pemerintahan berada dibawah daijokan dan sebuah dinas
kepolisisan atau pengadilan pejabat ( Danjodai). Seperti halnya pada
pemerintahan T’ang, maka di Jepang juga diadakan tiga kementrian untuk
mengurusi birokrasi pemerintahan jepang ketiga biro itu adalah Chung-Shu Sheng
bertugas menyusun surat keputusan resmi kaisar, Menshia Seng bertugas memeriksa
surat keputusan dan mengajukannya kepada kaisar, sedangkan Shangshu Sheng
bertugas sebagai pelaksana surat-surat keputusan itu. Sedangkan Daijokan
mempunyai dua pejabat utama yaitu menteri kiri (Sadaijin) dan menteri kanan
(Udaijin). Menteri kiri lebih tinggi kedudukannya daripada menteri kanan.
Menteri Daijokan yang tertinggi yang tertinggi yang merupakan Daijodaijin yaitu
seorang penasehat kaisar.
Selanjutnya kantor yang mengawasi tingkah laku para pegawai disebut Danjidai.
Tiap dinas pemerintahan dalam sistem ryo dikenal 4 tingkat pejabat yaitu kepala
(Kami), wakil kepala (Suku) pegawai (Jo), dan sekretaris (Sekan). Para pegawai
bersifat turun temurun. Sistem kapangkatan dicetuskan oleh Shotoku Taishi pada
saat dia berkuasa 593-622 M dan diberlakuakan pada tahun 603 M. Setiap pangkat
ditandai dengan pemberian topi dengan warna yang berbeda. Pangkat tersebut
bertujuan untuk memeperjelas kedudukan dan hirarkis para pembesar istana. Para
kepala suku diangkat sebagai gubernur yang disebut sebagai Kuni-no Mikiyatsoko.
- Penguasaan Tanah
Pada tahap awal
perubahan, Reformasi Taika bertujuan pula untuk menghapus kepemilikan pribadi
atas tanah dan pekerja dan untuk menarik pajak atas produk yang dihasilkan.
Berkaitan dengan itu maka sistem penguasaan tanah di Jepang merupakan salah
satu tujuannya. Penguasaan tanah dilakuakan dengan cara pengambilalihan semua
tanah rakyat dan sepenuhnya di kuasai oleh Negara. Hal ini meniru pada
undang-undang pemilikan tanah sama rata atau Chuntienfa kaisar T’ang. Namun
perbedaannya terdapat pada pembagian tanah. Di Jepang baik pria maupun wanita
sama-sama memiliki hak atas tanah dan pembagian tanah hanya bagi orang yang
sudah berumur 6 tahun. Pembagian tanahnya pun terjadinya enam tahun sekali,
tanah yang diberikan menjadi miliknya seumur hidup. Tanah yang diberiak kapada
rakyat seluas 6/10 are (dua Tan) bagi pria dan wanita seluas 2/3 dari jatah
pria.
Pada
tahun 780 menteri yang Yuen melaksanakan sistem pajak ganda Liang sui yang
berarti pajak yang dipungut dua kali dalam satu tahun. Dan dihilangkannya
system perbudakan.
- Sistem Perpajakan
Melalui pembaruan Taika
sistem sewa tanah dan perpajakan dari Cina diadopsi dan diterapkan di Jepang.
Menurut sistem ryo ditetapkan tiga macam pajak yaitu pajak So ialah pajak yang
berasal dari hasil tanaman yang dipanen dari tanah yang telah ditetapkan sebagi
wajib pajak (Yosunden). Pajak So berjumlah sekitar tiga persen dari hasil
panen., sedangkan tanah yang tidak dipajak tapi di garap disebut Fuyusoden.
Pajak yang lainnya adalah pajak Cho dan Yo yang sering dikenal sebagai pajak
kerja Korve (kerja bakti). Pajak ini ditetapkan bagi orang yang sehat dan pada
usia terbaik. Cho merupakan pajak yang dipungut dari produk daerahnya kecuali
padi. Sedangkan pajak Yo, ini perupakan pajak atas kerja dengan cara kerja 10
hari dan pembayarannya diganti oleh produk karya.
Hasil pemungutan pajak
digunakan untuk membiayai pemerintah pusat. Selain dari tiga pajak diatas, tapi
ada juga pajak yang dipungut oleh para penarik pajak untuk kepentingannya
sendiri. Pajak itu disebut sebagai Zoyo.
Ahkir Reformasi Taika
Mundurnya Jepang dari Korea akibat meninggalnya Kaisar Putri Saimei dan
pergantian kekuasaan pun terjadi. Kaisar Putri digantikan oleh Naka no Oe yang
dikenal dengan Kaisar Tenji. Dalam pemerintahannya dia memberi hak kepada para
bangsawan untuk mempunyai sebuah pasukan, maka secara tidak langsung Tenji
telah mengembalikan kekuasaan pada tangan-tangan feodal. Hal ini sangat
bertentangan dengan cita-cita Shotoku Taishi.
Peraturan bahwa semua tanah milik Negara akan dibagikan kepada para
petani secara merta ternyata setelah reformasi tidak banyak dilakukan, banyak
tanah milik perseorangan yang bebas dari pajak (Sho atau Shoen), banyak hak
istimewa yang diberikan kepada kaum bangsawan, perpindahan ibu kota dari Nara
ke Heian (Kyoto) membuat terputusnya hubungan Jepang dengan Cina, Jepang
berusaha untuk membentuk kebudayaan baru. Pada abad ke-9 M kebudayaan Cina
sudah mulai berkuarang. Namun yang masih pada saat itu adalah kesenian, huruf
kanji, dan kesusastraan.
7. Ibu
kota Heijō
Heijō-kyō atau Heizei-kyō
(平城京) adalah ibu kota Jepang pada zaman Nara. Nara no miyako (奈良の都, ibu
kota Nara) adalah sebutan lain
untuk kota ini yang menjadi ibu kota Jepang dari tahun 710 hingga 740, dan tahun 745 hingga 784. Pembangunan
kota mengambil model dari ibu kota Dinasti Tang di Chang'an dan ibu kota Dinasti Wei Utara di Luoyang. Lokasi Heijō-kyō
berada di dalam wilayah kota Nara dan Yamatokōriyama di Prefektur Nara sekarang.
Sejarah
Walaupun
perintah kaisar dikeluarkan Kaisar
Genmei pada
tahun 708, pekerjaan pemindahan ibu kota dari Fujiwara-kyō ke Heijō-kyō sudah dimulai
sejak tahun 707. Tahun 710, ketika ibu kota sudah dipindahkan
ke Heijō-kyo, hanya kompleks istana kaisar (dairi), aula utama istana (daigokuden),
dan kediaman resmi pegawai pemerintah yang diperkirakan sudah hampir selesai
dibangun. Pembangunan kuil dan kediaman bangsawan diperkirakan dilakukan secara
bertahap sebelum akhirnya ibu kota dipindahkan ke Nagaoka-kyō di Provinsi
Yamashiro pada
tahun 784. Ketika pada tahun 740, ibu kota pindah untuk sementara keKuni-kyō, Heijō-kyō menjadi telantar. Namun
Heijō-kyō kembali menjadi ibu kota dari tahun 745 hingga ibu kota dipindahkan
ke Nagaoka-kyō pada tahun 784. Setelah ibu kota berada di
Nagaoka-kyō, Heijō-kyō disebut orang sebagai Nanto (南都, ibu kota Selatan).
Ketika
ibu kota berada di Nagaoka-kyō, mantan Kaisar
Heizei pada
tahun 810 mengeluarkan perintah tentang pengembalian ibu kota
dari Heian-kyō ke Heijō-kyō. Mantan Kaisar
Heizei berusaha mengembalikan ibu kota ke Heijō-kyō namun berakhir dengan
kegagalan. Kaisar
Saga menggelar
pasukan untuk menghalangi usaha mantan Kaisar Heizei. Selanjutnya, mantan
Kaisar Heizei dijadikan biksu dalam peristiwa yang dikenal sebagai Insiden
Kusuko.
Citra udara situs Istana Heijō
Wilayah
kota berbentuk persegi panjang yang membujur dari utara ke selatan. Jalan utama
yang disebut Jalan
Raya Suzaku (Suzaku
ōji) membagi kota menjadi dua bagian, distrik Sakyō (kota bagian timur) dan
distrik Ukyō (kota bagian barat). Di timur laut distrik Sakyō terdapat wilayah
berlereng yang disebut distrik Gekyō (sekarang menjadi pusat kota Nara). Kota ditata menurut sistem tradisional jalan dan blok (jōbō-sei) yang berasal
dari Dinasti
Tang.
Distrik Sakyō dan Ukyō masing-masing dibagi menjadi 9 jō(条) (baris) dan 4 bō (坊) (kolom). Lebar kota dari
utara ke selatan adalah 4,7 km (tidak termasuk kawasan paling utara), sedangkan
panjang kota dari timur ke barat adalah 6,3 km. Jalan-jalan raya (oji)
dibangun melintang dari timur ke barat, mulai dari Ichi-jō ōji (Jalan Raya
Jō ke-1) di bagian paling utara kota hingga Ku-jō ōji (Jalan
Raya Jō ke-9) di kota bagian selatan. Di masing-masing distrik (Sakyō
dan Ukyō), jalan raya yang terdekat dengan Jalan Raya Suzaku dinamakan Ichi-bō
ōji (Jalan Raya Bō ke-1), diikuti Ni-bō ōji (Jalan Raya Bō ke-2), dan
seterusnya. Jalan-jalan raya tersebut membagi kota menjadi zona-zona yang disebut bō (坊) (luas 1 bō adalah 28,3 hektare atau 532 x 532 m) yang
dikelilingi oleh tembok dan parit. Masing-masing bō terbagi
menjadi 16 blok yang disebut machi (町) oleh
3 ruas jalan dari timur ke barat, dan 3 ruas jalan dari utara ke selatan. Luas
1 blok (machi) sekitar 1,768 hektare.
Bangunan istana dan kuil
Istana kaisar yang disebut Istana
Heijō berada
di ujung utara Jalan Raya Suzaku. Pintu masuk ke kompleks Istana Heijō
disebut Gerbang
Suzaku (Suzakumon).
Lokasi Istana Heijō tidak dipindah-pindah lagi sejak awal pembangunan kota.
Aula utama istana yang disebut Daigokuden dihancurkan ketika ibu kota pindah
ke Kuni-kyō. Setelah ibu kota pindah lagi ke
Heijō-kyō, Daigokuden kembali dibangun, namun lokasinya dipindah agak ke sisi
timur lokasi yang lama. Di ujung selatan Jalan Raya Suzaku terdapat bangunan
gerbang bernama Rashōmon, sedangkan tembok batas kota berada
di sisi selatan Ku-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-9).
Selain
sebagai ibu kota, Heijō-kyō berkembang sebagai pusat agama Buddha. Di dalam
kota terdapat sejumlah besar kuil, termasuk di antaranya 4 kuil utama: Daian-ji, Yakushi-ji, Kōfuku-ji, dan Gangō-ji. Keempat kuil tersebut secara
berturut-turut ikut dipindahkan dari Fujiwara-kyō mengikuti kepindahan ibu kota
ke Heijō-kyō. Tōdai-ji yang berada di ujung paling
timur ibu kota (distrik Gekyō) dibangun Kaisar
Shōmu pada
tahun 752. Selanjutnya, Saidai-ji dibangun Kaisar
Kōken di
bagian paling utara distrik Ukyō pada tahun 765. Ditambah dengan keberadaan Hōryū-ji, sebutan untuk 7 kuil utama agama
Buddha di Nara adalah Nanto
Shichi Daiji (7
kuil utama Nanto).
Taken from:
Makalah
日本史
Disusun
oleh:
Dede
Setiawan (1000999)
Dita
Sartika (1000302)
Frina
Utami (1000061)
Mustofa
(1000998)
Siti
Aisah (1001009)
JURUSAN PENDIDIKAN
BAHASA JEPANG
FAKULTAS PENDIDIKAN
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011