20130221

日本史をしりまほう!!Part2

6.   Pembaharuan Taika

Reformasi Taika (大化改新, Taika no Kaishin) atau Pembaruan Taika adalah perintah kekaisaran untuk pembaruan pemerintahan yang dikeluarkan Kaisar Kōtoku pada tahun 646 (zaman Asuka) di Jepang. Dalam Peristiwa Isshi, Pangeran Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari membunuh Soga no Iruka. Setelah tewasnya Soga no Emishi, maka berakhir pula keluarga utama klan Soga. Kendali pemerintahan tidak lagi dipegang klan Soga dan klan bangsawan di Asuka, melainkan terpusat di tangan kaisar. Semua tanah yang dulunya milik kalangan bangsawan disita untuk negara. Ibu kota dipindahkan dari Asuka ke Naniwanomiya. Reformasi ini dinamakan Reformasi Taika karena berlangsung pada zaman Taika. Nama zaman dimulai dari zaman Taika yang merupakan zaman pertama dalam penyebutan tahun di Jepang.

Latar belakang Reformasi Taika

Jepang dan tradisi budaya Cina mempunyai hubungan melalui penyerapan, kebudayaan yang berjalan secara perlahan namun lambat laun terus dilakukan oleh bangsa Jepang. Sedangkan jumlah penyerapan kebudayaan oleh bangsa Jepang sangat bervariasi tergantung kebutuhan negara tersebut.

                Pada masa pemerintahan T’ang banyak mahasiswa dari kawasan Asia dikirim ke Cina untuk mempelajari Cina yang sangat maju. Salah satu negara yang tertarik dengan kebudayaan Cina adalah Jepang. Hal yang dipelajari Jepang dari kebudayaan Cina adalah dalam bidang hukum, pemerintahan, penguasaan tanah, perpajakan dan lain-lain. Shotoku Taishi sebagai kaisar menginginkan adanya pemerintahan yang terpusat pada satu kaisat, sehingga dilaksanakan Reformasi Taika. Reformasi ini terjadi pada tahun 645 M. Dalam pelaksanaan Reformasi Taika dijalankan oleh Pangeran Nak no Oe yang dbantu oleh Nakatomi no Kamatari. Pangeran Nak no Oe dan Nakatomi no Kamatari berhasil meruntuhkan kekuasaan Soga dan sekaligus berakhirnya suatu era dimana negara seolah-olah dipegang oleh dua peguasa yang berdaulat.

Peristiwa Isshi


Klan Soga selama empat generasi, dimulai dari Soga no Iname, Soga no Umako, Soga no Emishi, dan Soga no Iruka memegang kekuasaan pemerintahan di Jepang. Kemarahan Nakatomi no Kamatari (nantinya disebut Fujiwara no Kamatari) memuncak akibat pemerintahan sewenang-wenang oleh klan Soga. Ia menginginkan pengembalian kekuasaan ke tangan kaisar. Namun niatnya batal setelah mendekati Pangeran Karu karena merasakan dia bukanlah tokoh yang tepat. Nakatomi no Kamatari kemudian mendekati Pangeran Naka no Ōe. Kisah pertemuan keduanya dalam pertandingan kemari telah menjadi kisah terkenal. Keduanya sama-sama belajar dari biksu Minabuchi no Shōan, dan akhirnya berdua menyusun rencana menggulingkan klan Soga. Pangeran Naka no Ōe menikahi putri dari Soga no Ishikawanomaro yang merupakan musuh Soga no Emishi dan Soga no Iruka. Sebagai hasilnya, Naka no Ōe dapat bersekutu dengan Soga no Ishikawanomaro, dan memperoleh dukungan dari Saeki no Komaro dan Katsuragi no Wakainukai no Amita.
Selanjutnya, pada tahun ke-4 berkuasanya Kaisar Kōgyoku (tahun 645) di istana bernama Itabukinomiya, Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari berhasil membunuh Soga no Iruka. Hari berikutnya, Soga no Emishi tewas bunuh diri setelah membakar sendiri rumah kediamannya, dan berakhirlah pemerintahan klan Soga.

Awal Pemerintahan Baru

Setelah terjadinya Peristiwa Isshi, Kaisar Kōgyoku turun tahta dan penerusnya adalah Putra Mahkota Naka no Ōe. Namun setelah Naka no Ōe berunding dengan Kamatari diputuskan agar Pangeran Karu yang naik tahta sebagai Kaisar Kōtoku, dibantu Pangeran Naka no Ōe menjadi putra mahkota. Peristiwa tersebut diperkirakan mengulangi keadaan yang terjadi ketika Kaisar Suiko bertahta sementara Pangeran Shōtoku sebagai putra mahkota memegang kendali pemerintahan. Kaisar Kōtoku dan Putra Mahkota Naka no Ōe didampingi Menteri Kiri Abe no Uchimaro, Menteri Kanan Soga no Kura no Yamada no Ishikawanomaro, dan Nakatomi no Kamatari sebagai Menteri Dalam (naijin). Mereka dibantu dua cendekiawan kekaisaran, Takamuko no Kuromaro dan biksu Min.

Garis Besar Reformasi Taika

Pada tahun 2 Taika, Kaisar Kōtoku mengeluarkan perintah kaisar tentang reformasi pemerintahan yang mengawali Reformasi Taika. Walaupun demikian, peristiwa terbunuhnya Soga no Iruka dan Soga no Emishi juga sering dianggap sebagai awal Reformasi Taika.
Ada empat pasal yang menjadi inti perintah kaisar:
  1. Tanah pribadi berikut penduduknya yang selama ini milik bangsawan disita, semua tanah dan penduduknya menjadi milik kaisar.
  2. Penataan pemerintah daerah, mulai dari ibu kota hingga provinsi (kuni) hingga distrik (agata) dan prefektur (kōri), serta pembuatan batas-batas wilayah.
  3. Pembuatan surat daftar keluarga (koseki) dan buku laporan kepala keluarga (keichō) untuk keperluan jatah tanah pertanian.
  4. Rakyat dikenakan pajak dan laki-laki dalam keluarga wajib menyumbang tenaga bagi pekerjaan negara.
Pelaksanaan Reformasi Taika
  1. Reformasi Hukum
Ide untuk mempunyai sistem hukum yang diundangkan dan lengkap di Jepang tersusun dari Ritsuryo dan Kyakushiki yang berasal dari klasifikasi hukum tertulis dinasti di Cina yaitu dinasti Sui dan dinasti T’ang. Ritsu dan ryo diterbitkan sebagai kitab undang-undang Ritsu sebagai hukum kejahatan sedangkan ryo untuk menegakan keadilan dan kebenaran. Keduanya bertujuan untuk mencapai cita-cita moral Konfuciusme. Pemindahan kedua kitab itu di perkenalkan di Jepang dengan memindahkan sistem Ritsu-nya T’ang secara lengkap. Satu-satunya perubahan adalah mengenai hukuman dengan satu atau dua tingkat. Ahli hukum kaisar mengurangi kekuatan Ryo dan diadakannya perbaikan agar sesuai dengan kebutuhan di Jepang, yang selanjutnya akan di ubah dengan suatu perubahan yang baru. Perubahan baru tersebut di namakan Kyaku. Sedangkan peraturan tambahan untuk peraturan undang-undang adalah disebut dengan Shiki. Sehingga sistem Kyaku Shiki adalah sebuah kitab perundang-undangan yang berasal dari sistem Ritsuryo. Sistem ini diterapkan di wilayah-wilayah provinsi.
            Pada tahun 689 undang-undang yang baru yang membahas tentang fungsi-fungsi kemetrian dan tugas para pejabat. Hal itu diedarkan melalui kantor pemerintahan. Dengan adanya undang-undang tersebut maka sebenarnya sistem pemerintahan pusat telah terlaksana. Tahun 702 undang-undang itu baru selesai di revisi. Sistem pemerintahan dibagi menjadi dua bagian yaitu Depertemen Peribadahan (Jingkan) dan Depertemen Kenegaraan (Daijokan).
B.     Reformasi Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahannya, Jepang terus mempelajari sistem pemerintahan Cina. Kemudian Jepang mempelajari sistem ryo yang menetapkan pemerintahan pusat dibagi menjadi dua yaitu Daijokan dan Jingikan ( bertanggung jawab atas upacara-upacara keagamaan Shinto) serta delapan kementerian yang bertanggung jawab terhadap berbagai bidang pemerintahan berada dibawah daijokan dan sebuah dinas kepolisisan atau pengadilan pejabat ( Danjodai).  Seperti halnya pada pemerintahan T’ang, maka di Jepang juga diadakan tiga kementrian untuk mengurusi birokrasi pemerintahan jepang ketiga biro itu adalah Chung-Shu Sheng bertugas menyusun surat keputusan resmi kaisar, Menshia Seng bertugas memeriksa surat keputusan dan mengajukannya kepada kaisar, sedangkan Shangshu Sheng bertugas sebagai pelaksana surat-surat keputusan itu. Sedangkan Daijokan mempunyai dua pejabat utama yaitu menteri kiri (Sadaijin) dan menteri kanan (Udaijin). Menteri kiri lebih tinggi kedudukannya daripada menteri kanan. Menteri Daijokan yang tertinggi yang tertinggi yang merupakan Daijodaijin yaitu seorang penasehat kaisar.
            Selanjutnya kantor yang mengawasi tingkah laku para pegawai disebut Danjidai. Tiap dinas pemerintahan dalam sistem ryo dikenal 4 tingkat pejabat yaitu kepala (Kami), wakil kepala (Suku) pegawai (Jo), dan sekretaris (Sekan). Para pegawai bersifat turun temurun. Sistem kapangkatan dicetuskan oleh Shotoku Taishi pada saat dia berkuasa 593-622 M dan diberlakuakan pada tahun 603 M. Setiap pangkat ditandai dengan pemberian topi dengan warna yang berbeda. Pangkat tersebut bertujuan untuk memeperjelas kedudukan dan hirarkis para pembesar istana. Para kepala suku diangkat sebagai gubernur yang disebut sebagai Kuni-no Mikiyatsoko.
  1. Penguasaan Tanah
Pada tahap awal perubahan, Reformasi Taika bertujuan pula untuk menghapus kepemilikan pribadi atas tanah dan pekerja dan untuk menarik pajak atas produk yang dihasilkan. Berkaitan dengan itu maka sistem penguasaan tanah di Jepang merupakan salah satu tujuannya. Penguasaan tanah dilakuakan dengan cara pengambilalihan semua tanah rakyat dan sepenuhnya di kuasai oleh Negara. Hal ini meniru pada undang-undang pemilikan tanah sama rata atau Chuntienfa kaisar T’ang. Namun perbedaannya terdapat pada pembagian tanah. Di Jepang baik pria maupun wanita sama-sama memiliki hak atas tanah dan pembagian tanah hanya bagi orang yang sudah berumur 6 tahun. Pembagian tanahnya pun terjadinya enam tahun sekali, tanah yang diberikan menjadi miliknya seumur hidup. Tanah yang diberiak kapada rakyat seluas 6/10 are (dua Tan) bagi pria dan wanita seluas 2/3 dari jatah pria.
            Pada tahun 780 menteri yang Yuen melaksanakan sistem pajak ganda Liang sui yang berarti pajak yang dipungut dua kali dalam satu tahun. Dan dihilangkannya system perbudakan.
  1. Sistem Perpajakan
Melalui pembaruan Taika sistem sewa tanah dan perpajakan dari Cina diadopsi dan diterapkan di Jepang. Menurut sistem ryo ditetapkan tiga macam pajak yaitu pajak So ialah pajak yang berasal dari hasil tanaman yang dipanen dari tanah yang telah ditetapkan sebagi wajib pajak (Yosunden). Pajak So berjumlah sekitar tiga persen dari hasil panen., sedangkan tanah yang tidak dipajak tapi di garap disebut Fuyusoden. Pajak yang lainnya adalah pajak Cho dan Yo yang sering dikenal sebagai pajak kerja Korve (kerja bakti). Pajak ini ditetapkan bagi orang yang sehat dan pada usia terbaik. Cho merupakan pajak yang dipungut dari produk daerahnya kecuali padi. Sedangkan pajak Yo, ini perupakan pajak atas kerja dengan cara kerja 10 hari dan pembayarannya diganti oleh produk karya.
Hasil pemungutan pajak digunakan untuk membiayai pemerintah pusat. Selain dari tiga pajak diatas, tapi ada juga pajak yang dipungut oleh para penarik pajak untuk kepentingannya sendiri. Pajak itu disebut sebagai Zoyo.
Ahkir Reformasi Taika
            Mundurnya Jepang dari Korea akibat meninggalnya Kaisar Putri Saimei dan pergantian kekuasaan pun terjadi. Kaisar Putri digantikan oleh Naka no Oe yang dikenal dengan Kaisar Tenji. Dalam pemerintahannya dia memberi hak kepada para bangsawan untuk mempunyai sebuah pasukan, maka secara tidak langsung Tenji telah mengembalikan kekuasaan pada tangan-tangan feodal. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita Shotoku Taishi.  Peraturan bahwa semua tanah milik Negara akan dibagikan kepada para petani secara merta ternyata setelah reformasi tidak banyak dilakukan, banyak tanah milik perseorangan yang bebas dari pajak (Sho atau Shoen), banyak hak istimewa yang diberikan kepada kaum bangsawan, perpindahan ibu kota dari Nara ke Heian (Kyoto) membuat terputusnya hubungan Jepang dengan Cina, Jepang berusaha untuk membentuk kebudayaan baru. Pada abad ke-9 M kebudayaan Cina sudah mulai berkuarang. Namun yang masih pada saat itu adalah kesenian, huruf kanji, dan kesusastraan.

7. Ibu kota Heijō
Heijō-kyō atau Heizei-kyō  (平城京)  adalah ibu kota Jepang pada zaman Nara. Nara no miyako (奈良, ibu kota Nara) adalah sebutan lain untuk kota ini yang menjadi ibu kota Jepang dari tahun 710 hingga 740, dan tahun 745 hingga 784. Pembangunan kota mengambil model dari ibu kota Dinasti Tang di Chang'an dan ibu kota Dinasti Wei Utara di Luoyang. Lokasi Heijō-kyō berada di dalam wilayah kota Nara dan Yamatokōriyama di Prefektur Nara sekarang.

Sejarah
Walaupun perintah kaisar dikeluarkan Kaisar Genmei pada tahun 708, pekerjaan pemindahan ibu kota dari Fujiwara-kyō ke Heijō-kyō sudah dimulai sejak tahun 707. Tahun 710, ketika ibu kota sudah dipindahkan ke Heijō-kyo, hanya kompleks istana kaisar (dairi), aula utama istana (daigokuden), dan kediaman resmi pegawai pemerintah yang diperkirakan sudah hampir selesai dibangun. Pembangunan kuil dan kediaman bangsawan diperkirakan dilakukan secara bertahap sebelum akhirnya ibu kota dipindahkan ke Nagaoka-kyō di Provinsi Yamashiro pada tahun 784. Ketika pada tahun 740, ibu kota pindah untuk sementara keKuni-kyō, Heijō-kyō menjadi telantar. Namun Heijō-kyō kembali menjadi ibu kota dari tahun 745 hingga ibu kota dipindahkan ke Nagaoka-kyō pada tahun 784. Setelah ibu kota berada di Nagaoka-kyō, Heijō-kyō disebut orang sebagai Nanto (南都, ibu kota Selatan).
Ketika ibu kota berada di Nagaoka-kyō, mantan Kaisar Heizei pada tahun 810 mengeluarkan perintah tentang pengembalian ibu kota dari Heian-kyō ke Heijō-kyō. Mantan Kaisar Heizei berusaha mengembalikan ibu kota ke Heijō-kyō namun berakhir dengan kegagalan. Kaisar Saga menggelar pasukan untuk menghalangi usaha mantan Kaisar Heizei. Selanjutnya, mantan Kaisar Heizei dijadikan biksu dalam peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Kusuko.


Citra udara situs Istana Heijō
Wilayah kota berbentuk persegi panjang yang membujur dari utara ke selatan. Jalan utama yang disebut Jalan Raya Suzaku (Suzaku ōji) membagi kota menjadi dua bagian, distrik Sakyō (kota bagian timur) dan distrik Ukyō (kota bagian barat). Di timur laut distrik Sakyō terdapat wilayah berlereng yang disebut distrik Gekyō (sekarang menjadi pusat kota Nara). Kota ditata menurut sistem tradisional jalan dan blok (jōbō-sei) yang berasal dari Dinasti Tang. Distrik Sakyō dan Ukyō masing-masing dibagi menjadi 9 () (baris) dan 4  () (kolom). Lebar kota dari utara ke selatan adalah 4,7 km (tidak termasuk kawasan paling utara), sedangkan panjang kota dari timur ke barat adalah 6,3 km. Jalan-jalan raya (oji) dibangun melintang dari timur ke barat, mulai dari Ichi-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-1) di bagian paling utara kota hingga Ku-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-9) di kota bagian selatan. Di masing-masing distrik (Sakyō dan Ukyō), jalan raya yang terdekat dengan Jalan Raya Suzaku dinamakan Ichi-bō ōji (Jalan Raya Bō ke-1), diikuti Ni-bō ōji (Jalan Raya Bō ke-2), dan seterusnya. Jalan-jalan raya tersebut membagi kota menjadi zona-zona yang disebut  () (luas 1  adalah 28,3 hektare atau 532 x 532 m) yang dikelilingi oleh tembok dan parit. Masing-masing  terbagi menjadi 16 blok yang disebut machi () oleh 3 ruas jalan dari timur ke barat, dan 3 ruas jalan dari utara ke selatan. Luas 1 blok (machi) sekitar 1,768 hektare.
Bangunan istana dan kuil
Istana kaisar yang disebut Istana Heijō berada di ujung utara Jalan Raya Suzaku. Pintu masuk ke kompleks Istana Heijō disebut Gerbang Suzaku (Suzakumon). Lokasi Istana Heijō tidak dipindah-pindah lagi sejak awal pembangunan kota. Aula utama istana yang disebut Daigokuden dihancurkan ketika ibu kota pindah ke Kuni-kyō. Setelah ibu kota pindah lagi ke Heijō-kyō, Daigokuden kembali dibangun, namun lokasinya dipindah agak ke sisi timur lokasi yang lama. Di ujung selatan Jalan Raya Suzaku terdapat bangunan gerbang bernama Rashōmon, sedangkan tembok batas kota berada di sisi selatan Ku-jō ōji (Jalan Raya Jō ke-9).
Selain sebagai ibu kota, Heijō-kyō berkembang sebagai pusat agama Buddha. Di dalam kota terdapat sejumlah besar kuil, termasuk di antaranya 4 kuil utama: Daian-jiYakushi-jiKōfuku-ji, dan Gangō-ji. Keempat kuil tersebut secara berturut-turut ikut dipindahkan dari Fujiwara-kyō mengikuti kepindahan ibu kota ke Heijō-kyō. Tōdai-ji yang berada di ujung paling timur ibu kota (distrik Gekyō) dibangun Kaisar Shōmu pada tahun 752. Selanjutnya, Saidai-ji dibangun Kaisar Kōken di bagian paling utara distrik Ukyō pada tahun 765. Ditambah dengan keberadaan Hōryū-ji, sebutan untuk 7 kuil utama agama Buddha di Nara adalah Nanto Shichi Daiji (7 kuil utama Nanto).











Taken from: 
Makalah
日本史



Disusun oleh:
Dede Setiawan (1000999)
Dita Sartika (1000302)
Frina Utami (1000061)
Mustofa (1000998)
Siti Aisah (1001009)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA JEPANG
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011

1 komentar: